Pada
suatu malam, saya mencuci sepeda motor sampai bersih dan mengkilap. Ketika
motor sudah bersih, saya lalu memperhatikannya sambil berpikir-pikir tentang
aksesori apa yang kurang untuk dapat memperindah penampilannya.
Keesokannya,
saat saya mau berangkat bekerja, dengan senangnya saya memakai sepeda motor
saya yang sudah saya cuci semalam sebelumnya. Tetapi, tiba-tiba di pertengahan
jalan, saya melintasi jalan yang sangat becek sekali. Rupa-rupanya area yang
saya lintasi tersebut telah kena curahan air hujan, maka otomatis sepeda motor
saya pun kotor kembali.
Begitu
sedih saya waktu itu. Akan tetapi, walaupun sepeda motor saya sudah kotor lagi,
saya tidak akan membiarkannya tetap kotor terus dalam jangka waktu yang lama.
Di dalam hati saya mengatakan bahwa saya akan tetap membersihkannya sekali lagi
agar selalu terlihat indah di pemandangan mata saya dan orang lain yang melihatnya.
Terkadang
Tuhan pun bersikap sama seperti kita, yaitu Tuhan dengan senangnya membersihkan
atau menyucikan kotoran-kotoran yang ada di dalam diri kita, hidup kita, yaitu
dari dosa. Tetapi, ketika kita kotor lagi (jatuh dalam dosa), Ia pun merasa
sedih, namun meskipun diri kita kotor,
Tuhan tetap rindu ingin membersihkannya lagi dan menambahkan aksesori atau berkat agar kita terlihat
indah di pemandangan-Nya.
Kak
Yusni Reiny tentu pernah mendengar, mungkin masih mengingat frasa berikut ini: tukang roti yang kelaparan.
Izinkanlah
saya untuk mengaku saat ini, bahwa saya merasa seperti itu.
Saya membagi-bagikan
kutipan di grup Gudang
Mimpi seraya merayu-rayu ataulah mendorong teman-teman, atau kalau bukan,
orang-orang untuk mengejar, menggapai impian. Impian-impian. Sedangkan, saya
sendiri? Impian apa yang pernah saya raih?
Jujur,
impian kecil saya ketika SMA, yang pernah saya peroleh adalah supaya bisa kuliah di Bandung (tapi ternyata baca:
J.a.t.i.n.a.n.g.o.r―ya, Jatinangor karena memelesat, bukan memeleset ke “kota” itu), walaupun
memang sesekali, misalkan Sabtu, Minggu bisa berkunjung ke Bandung. Tapi,
seandainya saya tidak berada di kotaitu tadi, tentu mungkin tidak akan bertemu dengan Kak Yusni [alih-alih Yunus], Dina Panjaitan [alih-alih
Dinda], Tongam Pardomuan
[alih-alih mungkin Tono], Tama
[mungkin Tari], Mitha
[alih-alih Mira]. Nama-nama di dalam tanda kurung bukanlah nama sebenarnya,
hanya rekaan, respectively.
Tapi,
apakah hal bisa pergi, berkuliah, ataupun berada di Bandung bisa dibilang merupakan suatu impian? Itu
bagi saya mungkin iya, salah satu impian saya waktu itu. Tapi, tentu, tiap-tiap
orang mempunyai impian atau tempat-tempat tujuan yang berbeda. Juga,
impian saya itu amatlah kecil bila dibandingkan dengan impian besar lainnya milik orang lain, mungkin ibarat bumi berbanding dengan Canis Majoris.
Saya.
Ingin. Mimpi. Yang. Lebih. Lebih. Lebih. Besar. Impian yang benar-benar impian. Mungkin saya
tidak bisa mendefinisikan apa itu impian
yang benar-benar impian. Tapi, ya, hati kita mengetahui, impian yang benar-benar impian. Mimpi
yang besar. Saya tidak ingin menjadi tukang
roti yang kelaparan, tidak ingin menjadi sekadar tukang mimpi! Yang menjual, membagi-bagikan roti pagi-pagi tapi kekurangan makan; yang mendorong-dorong, mengajak orang-orang untuk mengejar impian mereka, tapi kealpaan, berada di dalam masa ketiadaan impian.
Mungkin
teman-teman atau anggota di grup Gudang Mimpi punya impian, atau sedang
mengerjakan impian, atau bahkan sudah memperoleh impian besar―sesuatu
yang diimpikan-impikan. Tetapi saya? Padahal, seolah-olahnya saya menebarkan kutipan-kutipan yang menyemangati 'tuk merengkuh dan merenggut impian.
Jadi,
janganlah, kalaulah boleh saya diizinkan
bersuara, melihat, menilai apa yang terlihat sesungguhnya seperti apa yang
terlihat. Belum pasti. Itu N.I.R.W.I.S. Nothing
is really what it seems. Hanya beberapa yang tampak seperti yang sebenarnya. Kalaulah, apa-apa yang telah saya bagikan, kutipan-kutipan sempat bermanfaat,
menginspirasi, itu adalah hal yang baik; kalau tidak pun, baiklah. Tetapi, saya pun
masih teringat perkataan dari Kak Yusni, yaitu untuk, “Janganlah sekadar
menginspirasi, De, tapi bertanggung jawablah.”
Beberapa
waktu yang lalu, saya membaca-baca sejumput-jumput sekilas buku tebalnya Seno Gumira Ajidarma,
berjudul Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk.
Di halaman lembar pembukanya, yang berupa kutipan, ada kalimat tertulis: Dalam kegelapan saya memilih untuk bekerja.
Bukan bekerja untuk kegelapan,
melainkan walaupun sedang di dalam kegagalan, kekalahan, atau―kalau
boleh meminjam istilah bahasa Alay―kegalauan,
kesalahan, tetap bertahan, memilih untuk tetap bertahan hingga melakukan apa
yang diperlukan sampai memperoleh (maaf bila klise, tapi jadi klasik jika
memperolehnya) keberhasilan. Lalu, berbuat sesuatu untuk terang.
Di
dalam proses kejujuran ini (yang merupakan proses yang panjang, namun semoga
tak terlalu panjang atau lama, sebab pembohong biasanya suka berpanjang lebar),
mungkin pula kegagalan atau kekalahan atau kesalahan, saya masih memilih untuk
memiliki impian, mengerjakan sesuatu, walaupun masih menunggu, mengharapkan sampai benar-benar berada di dalam terang.
Impian
yang benar-benar impian itu―izinkan saya
memberi ilustrasi ini―seperti halnya sudah sangat ingin poop (BAB), mules banget, sangat-sangat
ingin buang air besar karena diare, perut serasa tertusuk-tusuk, sudah sangat
di ujung tanduk, tidak bisa ditahan-tahan. Dan apa pun akan kita lakukan. Tak acuhkan rasa malu. Risiko kita mau
ambil. Rohani dan rasio berpadu, seperti ujar Pak Gene Getz: “At this point, he [Abraham] had learned that there is an important
balance between trusting God’s sovereign involvement in our lives, and, at the
same time, using the human capacities God has given us to make intelligent
decisions and to act responsibly.” Tidak, kutipan itu bukanlah datang dari
tukang roti yang kelaparan. Lalu… tercapailah tujuan kita.
Inilah pengakuan secuil dari a professional amateur-dreamer. Saya rindu, suatu hari,
segeralah(!), kata amateur itu
hilang, jadi professional dreamer.
Bahkan, pun kata professional itu
lesap, lenyap... Hanya dreamer. Tapi,
semoga, kata itu pun tercoret, menghilang, berubah, menjadi seperti salah satu
kata yang benar yang juga pernah Kak Yusni ucap, tuliskan: a doer. Bukan perpetrator,
pelaku kejahatan. Tetapi, a doer.
Orang yang bertindak. Orang yang bermimpi, berencana, dan bertindak.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan menuangkan
kutipan dari seorang teman saya, Ryan Darliansyah, “Pada akhirnya, bukan impian
kita yang kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri.” Semoga kita semua adalah pengusaha roti yang kenyang.
“Apabila daya tarik Anda luntur, Anda tidak akan pernah
memiliki apa pun lagi, yang tersisa hanyalah karakter.”
“Can we relax? If you’re judging where we are by
[what we can afford to buy], it’s a dangerous measure. I judge where we are by
how close I am to the melody I’m hearing in my head, and how close are we to
what we can do as a band to realizing our potential.” ―Bono U2
(… following their early commercial successes. In that moment, he pushed
the group to continue its quest to be relevant. See http://bit.ly/Monitoring_Motivation.)
An author should never conceive of himself as
bringing into existence beauty or wisdom which did not exist before, but simply
and solely as trying to embody in terms of his own art some reflection of that
eternal Beauty and Wisdom. ―C. S. Lewis
Oh God, Let me
die rather than to go on day by day living wrong. I do not want to become a
careless, fleshly old man. I want to be right so that I can die right. Lord, I
do not want my life to be extended if it would mean that I should cease to live
right and fail in my mission to glorify You all of my days...!―A. W. Tozer