May 18, 2017

Bus Pintar


Maaf kalau saya agak bodoh karena mengemudi sambil merekam video via HP saat di Jalan Tol Dalam Kota, Jakarta. Mengapa?

Karena saya gemas, geram setiap kali—tapi baru kali ini merekamnya—melihat truk atau bus yang mengambil atau lewat di lajur paling kanan saat di jalan tol, yang sebenarnya diperuntukkan ke mobil-mobil kecil. Apabila ada bus atau truk, tidak begitu bisa sigap mengantisipasi kejadian atau mobil-mobil yang berada di depannya karena badan truk atau bus yang besar itu menutupi. Seperti salah satunya bus pintar yang saya rekam di atas. Apalagi, "bus pintar" tersebut adalah milik lembaga pemerintahan.

Apakah mereka mempunyai privilese tertentu sebebas itu?

May 17, 2017

Motherhood

I cannot sleep. For a while I sat here in bed with the lights off, and thought and prayed. I have a headache. It would be so easy to take a sleeping pill, but He knows I need sleep—and how much. And sometimes there are more important things. Like seeing the world outside flooded with moonlight and watching the last log in my fireplace flicker and die, the shadows of the ceiling beams leaping, as it were, in the fire-light. And knowing He is here.

I get snowed with my responsibility at times, and when I do, I fret. And as always it “tends only to evil” (Ps. 37:8 RSV). I get cross and take it out on the kids. Not deliberately. But I am worried about not being a better mother, and then I nag or scold when I should first instruct or correct.

Well, every time I start talking to the Lord about it, God keeps saying, love them. Which seems (or could seem) odd—because I love every ounce of them. But God means “show it.” Let them in on the fact. Enjoy them. You think they are the greatest—let them know you think so.

My head is trying to wise up my heart.

The heart worries, fears the worst, imagines all sorts of things, wants to guide, counsel, control, choose.

The head says, “Lay off. Trust God. Love. Be sympathetic, understanding, patient, confident. Turn loose. And pray.”

by Ruth Bell Graham

Mom, Grace my little sister, and me
My mother and me

May 12, 2017

Sméagol

The care of the soul is a matter of the highest importance; beyond anything which can be brought into comparison with it.
George Whitefield


Tempo lalu saya menulis sedikit tentang Kichijiro, seorang tokoh dalam Silence yang sering jatuh dan bangun dalam hidupnya. Kemudian, baru-baru ini saya diingatkan tentang salah satu tokoh dalam The Lord of the Rings karya (John Ronald Reuel) Tolkien. Tokoh tersebut adalah Gollum, atau disebut juga Sméagol.

Kalau Kichijiro kadang jatuh, kadang bangun, Sméagol kadang jahat, kadang baik.

Apakah kedua tokoh tersebut serupa? Saya tidak tahu, sebab saya tidak akan mengupasnya panjang lebar—tapi satu yang pasti, yaitu bahwa kalau Kichijiro, pada akhirnya benar-benar mau bertobat dan berubah, tidak mau jatuh bangun lagi dalam hidupnya.

Bagaimana dengan Gollum/Sméagol?

Mari kita kupas sejenak tentang dia.

Gollum merupakan salah satu jenis hobbit, makhluk fantasi karangan Tolkien. Ciri-cirinya pendek dan kotor karena agak memiliki semacam lendir di tubuhnya (small, slimy creature: entah ‘slimy’ maksudnya berlendir, ataukah artinya picik), berkulit pucat, berpakaiankan hanya secarik kain sehingga setengah telanjang.

Ia bisa berjalan dan memanjat mengendap-endap layaknya seekor laba-laba. Hanya punya tersisa enam gigi di mulutnya, namun gigitannya sangat kuat sampai-sampai bisa memutuskan jari manusia.

Nama Gollum berasal karena dari suara seraknya yang mirip batuk berdahak keluar dari tenggorokannya saat berbicara—mengingatkan saya tentang seorang pengkhotbah yang berbicara seperti itu ketika di mimbar yang pernah dibagikan oleh komedian Michael Jr.

Usia Gollum menjelang kematiannya adalah sekitar 500-an tahun karena dampak kuasa dari membawa sebuah cincin (Ring). Dan karena rentang usianya yang begitu lisut akibat pengaruh buruk cincin itu, Gollum makin berubah dalam hal wujud serta pikirannya. Meskipun begitu, masih hasrat utamanya ialah memiliki cincin tersebut dan akan memburu siapa pun yang mengambil/menyimpannya. Salah satunya adalah figur Bilbo Baggins.

Sebelumnya, Gollum mulai memiliki cincin itu seusai memancing bersama seorang sepupunya. Ketika itu, sepupunyalah yang menemukan cincin emas tersebut. Namun, Gollum terjerat pesona kuasa cincin itu, lalu meminta sepupunya supaya menjadikannya hadiah ulang tahunnya.

Sepupunya menolak. Gollum pun murka dan berkelahi dengan sepupunya itu, mencekiknya hingga mati, dan menyimpan cincin itu.

Kian hari, perangai Gollum kian parah. Sehingga diusir dari lingkungan hobbit-nya. Kemudian ia tinggal di dalam sebuah gua di pegunungan, Misty Mountains. Di sanalah ia dapat hidup selama ratusan tahun, memakan apa pun yang dapat ditangkap dan dimakannya mentah-mentah.

Semasa ratusan tahun atas pengaruh cincin itu, Gollum mulai juga memiliki perilaku yang menyimpang dan berubah-ubah. Satu sisi, ia adalah Gollum yang memiliki sifat jahat, berkepribadian buruk, menjadi hamba cincin itu, dengan bola mata yang menyorot runcing tiap kali sisi ini muncul, dan sudi membunuh siapa pun yang mencoba mengambilnya. Di sisi lain, ia adalah Sméagol yang memiliki sifat kanak-kanak, berkepribadian baik, dengan pupil yang lebar, yang selalu teringat akan arti persahabatan maupun cinta. (Bayangkan, bagaimana kita bisa hidup dengan seseorang yang mungkin berkepribadian ganda seperti itu: jahat di belakang, tapi baik di depan? Bisakah? Saya lupa ada juga seorang penulis yang mengakui dan mengatakan terhadap istrinya bahwa memang tak mudah untuk hidup bersama dengan penulis itu. Entah disebabkan oleh kepribadian ganda atau satu kepribadiannya yang memang menjengkelkan.)

Dua personalitas dalam diri Gollum/Sméagol itu kerap berkecamuk di dalam dirinya; sering kali berbicara dengan diri sendiri; merasakan kebencian maupun kasih kadang secara bersamaan maupun bergantian—baik terhadap cincin itu ataupun dirinya sendiri. Sepanjang ceritanya, ia terjebak di antara nafsunya memiliki cincin dan keinginannya untuk terbebas dari hal itu.

Kita pun mungkin sering seperti begitu. Mendengarkan pikiran kita sendiri yang cenderung negatif. Padahal, sebenarnya kita bisa saja berkata-kata terhadap diri sendiri, daripada mendengarkan apa kata pikiran kita yang cenderung negatif tadi. Apa yang kita perkatakan terhadap diri sendiri sering positif atau bisa yang baik-baik saja, sedangkan apa yang diperkatakan pikiran kita sebaliknya—mungkin karena sudah teramat sering mendengar/melihat/membaca/mengalami atau terpengaruh hal-hal buruk di sekitar kita semenjak kecil hingga usia saat ini.

Menurut Peter Jackson, produser maupun sutradara film The Lord of the Rings, Sméagol adalah sosok yang penuh keceriaan, manis sikapnya (a joyful, sweet character). Sméagol enggan berbohong, menipu, ataupun memanipulasi orang lain. Sméagol juga enggan menguasai orang-orang yang lemah ketimbang dirinya. Bahkan, ia sangat layak dikasihi. Sebaliknya, masih menurut Peter, segala sifat jahat hanya dimiliki oleh Gollum. Gollum yang kejam.

Sméagol pun kalem (lemah lembut) dan cinta damai.

Apakah ciri-ciri Gollum/Sméagol menggambarkan juga akan kebanyakan dari kita?

Dua sisi bergejolak di dalam diri kita.

Sisi jahat dan sisi baik rasanya kadang seperti terpisah antara jurang yang jauh dan dalam, tapi sekaligus dekat dan bisa terjatuh ke dalamnya kapan saja. Gambaran realitas yang mungkin kita alami sehari-hari.

Viktor F. Frankl pernah berkata, “Bagaimana kita bisa menduga perilaku manusia? Kita bisa menduga gerakan mesin, sebuah robot; lebih jauh lagi, kita bahkan bisa menduga mekanisme atau dinamika jiwa manusia. Tetapi manusia lebih dari sekadar jiwa. Saya akan menceritakan kepada Anda kisah Dr J.—waktu itu, dia lebih dikenal sebagai 'si pembunuh massal dari Steinhof.' Ketika pihak Nazi memulai program eutanasia, dia sendirilah yang menjadi algojonya, yang sangat fanatik dalam melaksanakan tugasnya, dan berusaha keras agar tidak ada satu orang pun yang bisa lolos dari kamar gas.

“Setelah perang, ketika saya kembali ke Wina, saya bertanya, apa yang terjadi dengan Dr J. 'Dia ditahan oleh pihak Rusia di salah satu sel Steinhof yang terasing. Tetapi, keesokan harinya, sel tempatnya ditahan ditemukan terbuka, dan Dr J. tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya.'

“Kemudian, saya yakin bahwa seperti yang lain, dan berkat bantuan rekan-rekannya, dia berhasil melarikan diri ke Amerika Selatan. Tetapi, baru-baru ini saya kedatangan seorang mantan diplomat Austria yang selama bertahun-tahun pernah ditahan di negara Tirai Besi (Rusia). Pertama-tama di Siberia, kemudian dipindahkan ke penjara Lubianka yang terkenal di kota Moskow. Ketika saya sedang memeriksa syarafnya, tiba-tiba orang tersebut bertanya, apakah saya mengenal Dr. J.

“Ketika saya katakan saya mengenalnya, orang itu menambahkan, 'Saya bertemu dengannya saat berada di Lubianka. Di tempat itu dia meninggal pada usia 40 tahun akibat kanker kantung kemih. Tetapi, sebelum meninggal, dia merupakan teman terbaik yang pernah bisa Anda bayangkan! Dia menghibur semua orang. Dia hidup dengan menerapkan nilai-nilai moral yang paling tinggi yang bisa dipikirkan. Dialah teman terbaik yang saya miliki selama saya mendekam di penjara untuk waktu yang lama!'”

Ibarat sosok Gollum serta Sméagol dalam satu orang, bukan?

Saya rasa, berhati-hatilah terhadap baik Gollum maupun Sméagol yang bisa saja muncul dalam diri kita. Mungkin masih lebih baik, menurut saya, sosok Kichijiro yang mungkin ada dalam diri kita.

Mungkin pelajaran terbaik yang bisa kita ambil adalah dari hidup Paulus. Tapi, adakah Gollum dalam diri Paulus? Sebagaimana yang pernah ia katakan bahwa “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku” (2 Kor. 12:7-8). Adakah sifat Gollum dalam diri kita masing-masing? Apakah Sméagol? Ataukah Kichijiro?

Semoga Satyameva Jayate sajalah. Kebenaran pasti akan menang. Pasti.

Semoga juga, kalaulah boleh berlebih sedikit, jadi seperti berlian saja—sebuah batu yang pada awalnya hanyalah karbon biasa, hitam, kotor, dan mudah terbakar. Tetapi, setelah mengalami tekanan candradimuka dan tempaan panas tinggi selama bertahun-tahun, akhirnya batu karbon ini menjadi murni dan kuat. Menjadi perhiasan yang indah dan mahal.

Apa pun kekotoran, tekanan, atau penderitaan yang kita hadapi saat ini, semoga kita menjadi jati diri kita yang sejati. Menjadi yang baik saja. Dan apa pun yang kita alami, semoga dapat menjadi Parama Suha Salai bagi kita nantinya.


However, I consider my life worth nothing to me; my only aim is to finish the race and complete the task the Lord Jesus has given me—the task of testifying to the good news of God’s grace.
Kis. 20:24, NIV
















May 9, 2017

Kichijiro


Always question those who are certain of what they are saying.”
Elie Wiesel


Kebanyakan dari kita seperti Kichijiro. Salah satu tokoh dalam novel maupun film Silence.

Ataukah hanya saya yang mirip?

Mengapa saya menulis tentang Kichijiro jika saya saja sendiri masih seperti Kichijiro? Entahlah.

Saya memang belum pernah membaca langsung bukunya, namun dari filmnya kita bisa belajar tentang tokoh Kichijiro ini.

Kichijiro adalah seorang pemabuk sekaligus nelayan yang dimintai tolong dan ditawari untuk dapat pulang ke negara asalnya oleh Father Rodrigues dengan menjadi guide atau penunjuk jalan.

Tapi, sekalipun dia sudah diberi kesempatan untuk kembali ke negara asalnya dan mengabdi pada satu tujuan, yaitu menjadi guide, sepertinya Kichijiro sering kali berusaha mengkhianati. Sering kali jatuh-bangun. Entah demi uang. Demi menepis ketakutan. Demi menyelamatkan nyawanya sendiri. (Mungkin mirip figur Yudas Iskariot.)

Meskipun Kichijiro sering jatuh-bangun, ia selalu mau mengakui dosa-dosanya. Lalu, meminta pengampunan. Namun, jatuh lagi. Begitu seterusnya. Mirip kita, bukan?

Kichijiro pernah sekali menyangkali imannya supaya terbebas dari hukuman mati dan melihat anggota keluarganya tewas dibakar akibat mempertahankan iman mereka. Tapi, bagaimana dengan kita sendiri apabila berada di dalam posisi tersebut? Kita mengaku-mengaku mengenal Tuhan, memiliki iman besar, dan menyebarkan pengajaran-pengajaran yang baik. Tapi, seperti yang baru saja saya perbincangan dengan seorang teman, bagaimana saat kita sedang berada dalam posisi yang menyudutkan iman dan nyawa kita? Atau, taruhlah saat sedang menghadapi masalah-masalah kecil di dalam rumah tangga atau keluarga: apakah kita akan tetap mempertahankan iman dan terus melakukan yang baik?

Father Rodrigues pernah menyebut Kichijiro, “Could it be possible that Christ loved and searched after this dirtiest of men? In evil there remained that strength and beauty of evil; but this Kichijiro was not even worthy to be called evil (Mungkingkah Kristus mengasihi dan mencari orang yang paling hina ini? Di dalam kejahatan mungkin masih ada kekuatan itu serta suatu keindahan akan kejahatan itu sendiri. Tapi, di dalam Kichijiro ini sendiri tidak pantas disebut kejahatan).” Mirip pengakuan John Newton yang menyebut dirinya sendiri slave of slaves (budaknya para budak).

Kichijiro kerap mendadak liar saat terjadi hal-hal di luar kendalinya. Sampai akhirnya, ia menyangkali imannya untuk yang “kedua kalinya”. Sebisa-bisanya, kalau bisa jatuh, ya jatuh saja, demikian natur Kichijiro. Kita pun mungkin sering kali membahas atau memperdebatkan hal-hal yang kita pikir esensial (walau memang pada dasarnya esensial), tapi esensi diri kita sendiri tidak menunjukkannya. Kita berupaya menampilkan sisi-sisi yang lembut, indah, padahal sebenarnya ada juga sisi yang sangat liar di dalam diri kita. Ibarat ada sisi Kichijiro juga di dalam diri Father Rodrigues. Begitu pula sebaliknya. Manusia, atau tepatnya jiwa, memang kompleks.

Sering kali juga—entah saya lupa siapa yang bilang, mungkin Jonathan Edwards di Sinners in the Hands of An Angry God atau juga John Bunyan dalam Grace Abounding to the Chief of Sinners bahwa—kita mau bertobat dan berubah bukan karena murni sungguh-sungguh mau bertobat atau berubah, melainkan karena takut akan penghukuman—walau mungkin ini memang pun perlu—apabila tidak melakukannya.

Mungkin tokoh Kichijiro yang diperankan di dalam versi filmnya berbeda dengan yang di novelnya. Sebab menurut sebuah artikel, Kichijiro pada akhirnya mau sungguh-sungguh bertobat.

Semoga kita lebih mirip Kichijiro yang di versi buku atau novelnya.
















The heart is hopelessly dark and deceitful,
    a puzzle that no one can figure out.
But I, God, search the heart
    and examine the mind.
I get to the heart of the human.
    I get to the root of things.
I treat them as they really are,
    
not as they pretend to be.”
—Jeremiah 17:9-10, MSG